Krisis konstitusional Malaysia 1988

Bagian dari seri artikel mengenai
Sejarah Malaysia
Kemerdekaan Malaya dan proklamasi penggabungan Borneo Utara dan Serawak untuk membentuk Malaysia.
Prasejarah Malaysia
Prasejarah Malaysia sebelum abad ke-6
Kerajaan Awal
Gangga Negara abad ke-2–11
Langkasuka abad ke-2–14
Chi Tu abad ke-2–6
Pan Pan abad ke-3–5
Kedah Tua abad ke-5–9
Pahang Tua abad ke-5–15
Melayu abad ke-6
Srivijaya 650–1288
Majapahit 1293–1500
Kebangkitan Negara-Negara Muslim
Kesultanan Kedah 1136–sekarang
Kesultanan Samudera Pasai 1267–1521
Kesultanan Brunei 1368–sekarang
Kesultanan Malaka 1402–1511
Kesultanan Sulu 1450–1899
Kesultanan Pahang 1470–1623
Kesultanan Aceh 1496–1903
Kesultanan Pattani 1516–1902
Kesultanan Perak 1528–sekarang
Kesultanan Johor 1528–sekarang
Kesultanan Sarawak 1599–1641
Kesultanan Selangor 1745–sekarang
Kerajaan Besut 1780–1899
Kerajaan Setul 1808–1916
Kerajaan Reman 1810–1902
Kerajaan Kubang Pasu 1839–1864
Dinasti Jamalullail 1843–sekarang
Era Kolonial
Malaka Portugis 1511–1641
Perang Belanda-Portugis 1601–1661
Malaka Belanda 1641–1824
Kerajaan Pahang 1770–1881
Negeri-Negeri Selat 1786–1946
Invasi Siam ke Kedah 1821–1826
Perjanjian Inggris-Belanda1824
Perjanjian Burney1826
Perang Naning 1831–1832
Kerajaan Sarawak 1841–1946
Koloni Mahkota Labuan 1848–1946
Perang Saudara Pahang 1857–1863
Peperangan Larut 1861–1874
Perang Klang 1867–1874
Perjanjian Pangkor 1874
Perang Perak1875–1876
Malaya Britania / Borneo 1874–1946
Perang Saudara Jementah 1879
Borneo Utara 1882–1946
Negeri-Negeri Melayu Bersekutu 1895–1946
Perjanjian Inggris-Siam1909
Negeri-Negeri Melayu Tidak Bersekutu 1909–1946
Pertempuran Penang1914
Pemberontakan Kelantan1915
Perang Dunia II

1941–1945
Kampanye Malaya 1941–1942
Kampanye Borneo 1941–1942
Pertempuran Muar 1942
Pembantaian Parit Sulong 1942
Pertempuran Singapura 1942
Sook Ching 1942
Syburi 1942
Pawai Kematian Sandakan 1942–1945
Si Rat Malai 1943–1945
Pemberontakan Jesselton 1943–1944
Era Formatif
AMB Malaya/Borneo 1945–1946
Koloni Mahkota Borneo Utara 1946–1963
Koloni Mahkota Sarawak 1946–1963
Gerakan Anti-penyerahan 1946–1963
Uni Malaya 1946–1948
Federasi Malaya 1948–1963
Kedaruratan Malaya 1948–1960
Perundingan Baling 1955
Kemerdekaan Malaya 1957
Pemerintahan Sendiri Singapura 1959
Pemerintahan Sendiri Borneo Utara 1963
Konfrontasi 1963–1966
Pemerintahan Sendiri Sarawak 1963
Pembentukan Malaysia 1963
Singapura di Malaysia 1963–1965
Deklarasi ASEAN 1967
Pemberontakan Komunis Kedua 1968–1989
Kebijakan Ekonomi Baru 1971–1990
Perjanjian Damai Hat Yai 1989
Era Barisan Nasional
Wilayah Persekutuan KL 1974
Sengketa Pedra Branca 1979–sekarang
Sengketa Laut Tiongkok Selatan (Kepulauan Spratly)
1980–sekarang
Wilayah Persekutuan Labuan 1984
Peristiwa Memali 1985
Operasi Lalang 1987
Krisis Konstitusional 1987–1988
Kebijakan Pembangunan Nasional1990–2000
Visi 2020 1991–2020
Amandemen Kekebalan Kerajaan 1993
Krisis Finansial 1997–1998
Pesta Olahraga Persemakmuran 1998 1998
Gerakan Reformasi 1998–sekarang
Wabah Virus Nipah Malaysia 1998–1999
Pembukaan Menara Kembar 1999
Wilayah Persekutuan Putrajaya 2001
Pandemi H1N1 di Malaysia 2009–2010
Konsep 1Malaysia 2009–2018
Skandal 1MDB 2015–sekarang
Deklarasi Rakyat Malaysia 2016
Era Pakatan-Perikatan
PU14 – Perubahan Pemerintahan 2018
Konflik Air Singapura 2018
Protes ICERD 2018
RUU Status Negara Bagian Borneo 2019
Penurunan takhta Muhammad V 2019
Amandemen Pemungutan Suara18 2019
Visi Kesejahteraan Bersama 2030 2019–2030
Pandemi COVID-19 2020–sekarang
Langkah Sheraton 2020–sekarang
Perintah Kendali Pergerakan 2020–sekarang
Sengketa Sabah 2020 2020
Pemilu Awal Sabah 2020
Keadaan Darurat 2021 2021
Vaksinasi COVID-19 2021–sekarang
Insiden
Pemberontakan Brunei 1962–1966
Sengketa Borneo Utara (Serangan Militan Filipina) 1962–sekarang
Kerusuhan Rasial Singapura 1964
Klaim Limbang Brunei 1967–2009
Kerusuhan Penang Hartal 1967
Insiden 13 Mei 1969
Sengketa Sipadan dan Ligitan 1969–2002
Krisis Polusi Asap Malaysia 1972–sekarang
Krisis Sandera Gedung AIA 1975
Pengeboman Tugu Negara 1975
Kebakaran Kompleks Perbelanjaan Campbell 1976
Kecelakaan Sabah Air GAF Nomad 1976
Insiden MH653 1977
Kedaruratan Kelantan 1977
Serangan Fajar 1981
Penyergapan Lahad Datu 1985 1985
Peristiwa Memali 1985
Kedaruratan Sabah 1986
Peristiwa Ming Court 1987
Kebakaran Madrasah Taufiqiah Al-Khairiah 1989
1989
Badai Tropis Greg 1996
Insiden Al-Ma'unah 2000
Kerusuhan Kampung Medan 2001 2001
Tsunami 2004 di Malaysia 2004
Pembunuhan Altantuyaa 2006
Himpunan Bersih 2007–2016
Himpunan HINDRAF 2007
Rapat Anti ISA 2009
Serangan terhadap Gereja di Malaysia 2010 2010
Himpunan Kebangkitan Rakyat 2013 2013
Himpunan Black-Out 2013
Kebuntuan Lahad Datu 2013
Insiden MH370 2014
Insiden MH17 2014
Banjir Malaysia 2014–15 2014–2015
Gempa bumi Sabah 20152015
Himpunan Martabat Melayu 2015
Serangan granat Movida Bar 2016
Pembunuhan
Kim Jong-nam

2017
Kebakaran Madrasah Darul Quran Ittifaqiyah
2017
Kerusuhan Kuil Sri Maha Mariamman 2018
Protes ICERD 2018
Banjir Malaysia 2020–21 2021
Protes Undi-18 2021
Tabrakan Kereta LRT 2021
Kontrak Dokter Hartal 2021
Banjir Malaysia 2021–2022 2021–sekarang
Per Topik
  • Komunikasi
  • Ekonomi
  • Militer
  • Portal Malaysia
  • l
  • b
  • s

Sebuah krisis konstitusional (Melayu: krisis perlembagaan) terjadi di Malaysia pada tahun 1988. Akar permasalahannya adalah kejadian pasca-pemilihan internal partai berkuasa pada saat itu, United Malays National Organisation (UMNO) pada tahun 1987 yang berakhir dengan dipecatnya Presiden Mahkamah Agung, Tun Salleh Abas, dan beberapa hakim agung lainnya oleh Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Krisis ini dipercaya menjadi salah satu faktor dari melemahnya kemerdekaan kehakiman di Malaysia.[1]

Pemilihan UMNO 1987

Mahathir Mohamad, Perdana Menteri dan Presiden petahana, calon dari Tim A.
Tengku Razaleigh Hamzah, calon Presiden UMNO dari Tim B.

Pada bulan April 1987, United Malays National Organisation (UMNO), partai terbesar dalam koalisi pemerintah Barisan Nasional, menyelenggarakan pemilihan internal partai. Tengku Razaleigh Hamzah mencalonkan diri menjadi Presiden UMNO, menantang petahana dan Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Pendukung Tengku Razaleigh disebut "Tim B", sedangkan pendukung Mahathir disebut "Tim A". [2] Razaleigh dan Mahathir berkampanye sengit untuk memenangkan suara dari sekitar 1,500 perwakilan cabang UMNO. Pada saat penghitungan suara, Tim B meyakini bahwa mereka telah mengalahkan Mahathir dan Tim A. Namun, ketika hasil resmi diumumkan, Mahathir memenangkan 761 suara melawan Razaleigh yang hanya mendapat 718 suara. Calon Wakil Presiden dari Tim B, Musa Hitam, juga dikalahkan oleh tokoh Tim A Ghafar Baba. Tim A juga merebut mayoritas (16 dari 25) kursi di Majelis Tertinggi UMNO.[3].

Tim B merasa tidak puas hati dengan hasil pemilihan tersebut, yang mereka rasa telah diatur. Perdana Menteri Mahathir juga memecat seluruh tokoh yang terkait dengan Tim B, seperti Razaleigh dan Musa Hitam, dari Kabinet.[4] Dua belas orang anggota UMNO kemudian mengajukan permohonan di Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur, meminta perintah pengadilan untuk membatalkan hasil pemilihan UMNO dan menggelar pemilihan ulang. Para pemohon menduga bahwa 78 orang pemegang suara telah dipilih oleh cabang-cabang UMNO di daerah yang tidak didaftarkan dengan Registrar of Societies (ROS), lembaga pemerintah yang bertugas untuk melegalisir partai politik dan organisasi masyarakat, sehingga menyebabkan hasil pemilihan tersebut tidak sah. Para pemohon juga menduga bahwa berkas-berkas pemilihan telah dirusak. Meskipun Razaleigh tidak termasuk di dalam dua belas orang pemohon tersebut, ia diduga sebagai aktor intelektual di baliknya.[5]

Mahkamah Tinggi kemudian memerintahkan UMNO untuk menyelesaikan perselisihan dengan dua belas anggotanya di luar pengadilan (out of court settlement). Percobaan ini gagal karena para pemohon tidak mau mencabut permohonannya di pengadilan, sementara para pejabat teras partai berkeras bahwa permohonan tersebut dicabut untuk menjaga nama baik partai dan menawarkan alternatif para pemohon tersebut dapat tetap menjadi anggota UMNO. Para pemohon memutuskan untuk tetap mendesak pengadilan mengeluarkan perintah yang berkekuatan hukum.[6]

Perkembangan ini membuat Perdana Menteri Mahathir berang. Mahathir, yang tidak pula memiliki hubungan baik dengan lembaga pengadilan Malaysia, berkomentar pedas pada wartawan dari majalah Time tentang para "hakim kambing hitam yang ingin kebebasan mutlak".[7] Tak lama setelah komentar tersebut terbit, beberapa hakim Mahkamah Tinggi dipindahtugaskan ke pengadilan-pengadilan lain di seluruh Malaysia, termasuk Hakim Harun Hashim yang menyidangkan perkara perselisihan pemilihan UMNO. Namun, oleh karena perkara tersebut sedang dalam proses, pemindahtugasan Harun tidak berlaku sampai perkara selesai.[8]

Harun memutuskan bahwa UMNO adalah organisasi yang melawan hukum (unlawful society) dan membatalkan hasil pemilihan partai 1987. Dalam putusannya, ia menyalahkan Parlemen yang ia anggap "mengikat tangannya" dalam menentukan putusan.[9] Selepas putusan tersebut dibacakan, Mahathir berusaha untuk meyakinkan anggota-anggota UMNO bahwa putusan pengadilan tersebut hanyalah suatu perkara teknis yang kecil, dan tidak akan mengganggu kedudukannya sebagai Perdana Menteri yang hanya dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya.[10] Mahathir mengumumkan berdirinya partai UMNO Baru, yang dipimpin oleh para tokoh Tim A, dan dengan segera memindahkan aset dan kekayaan UMNO ke UMNO Baru.[11] Para pemohon, yang berafiliasi pada Tim B, meneruskan proses hukum mereka ke Mahkamah Agung, dengan masih menuntut diselenggarakannya pemilihan ulang pada badan hukum UMNO yang lama. Permohonan ini ditolak oleh Mahkamah Agung.[12]

Razaleigh dan para pendukungnya memutuskan untuk mendirikan partai baru bernama Semangat 46 (46 berarti tahun 1946, tahun UMNO didirikan oleh Onn Jaafar). Namun, setelah itu UMNO Baru memutuskan untuk menanggalkan nama "Baru" dan mengklaim bahwa mereka adalah penerus yang sah dari UMNO yang lama.[13]

Amandemen Konstitusi

"...the courts have decided that in enforcing the law they are bound by their interpretations and not by the reasons for which Parliament formulated these laws ... lately the judiciary had seen fit to touch on matters which were previously regarded as solely within the executive's jurisdiction."

— Mahathir, menjelaskan usul amandemen Konstitusi kepada Dewan Rakyat, 1987.[1]

Pemerintahan Mahathir tidak saja menghadapi Tim B UMNO dalam pertarungannya melawan lembaga peradilan, namun juga dalam beberapa kasus lain. Kasus John Berthelsen dan Raphael Pura, dua orang wartawan asing yang melaporkan transaksi keuangan gelap yang dilakukan oleh beberapa pejabat tinggi pemerintah dan diterbitkan oleh Asian Wall Street Journal, berakhir dengan pengusiran keduanya dari Malaysia dan pelarangan terbit untuk Wall Street Journal oleh pemerintah. Mahkamah Agung membatalkan pengusiran kedua wartawan tersebut dan mencabut larangan terbit Wall Street Journal.[14]

Dalam kasus lain, Mahkamah Agung membatalkan amandemen pemerintah atas Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memberikan kewenangan pada Jaksa Agung untuk memulai pendakwaan pidana di Mahkamah Tinggi tanpa harus melalui Pengadilan Magistrat terlebih dahulu. Kekuasaan ini digunakan oleh pemerintah Mahathir dalam Operasi Lalang pada tahun 1987, yang menangkap puluhan pemimpin oposisi di bawah Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA). Berkat pembatalan ini, Mahkamah Agung memerintahkan pembebasan pengacara dan politisi oposisi Karpal Singh karena kesalahan prosedur penangkapannya.[15]

Kedua kasus ini, ditambah dengan putusan mahkamah dalam kasus UMNO, membuat Mahathir mengusulkan beberapa amandemen pada Konstitusi Malaysia ke hadapan Parlemen. Amandemen-amandemen ini mengurangi kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh lembaga pengadilan dan membatasinya pada kewenangan-kewenangan yang diberikan secara eksplisit oleh Parlemen saja.[1] Usulan amandemen ini memaksa Tun Salleh Abas, Presiden Mahkamah Agung, untuk mengumpulkan seluruh hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Tinggi di Kuala Lumpur. Para hakim sepakat untuk tidak berkomentar pada publik tentang usul amandemen Mahathir. Mereka memilih untuk menulis surat rahasia pada Yang di-Pertuan Agong Sultan Iskandar bin Ismail dan Majelis Raja-Raja, yang ditulis oleh Salleh. Surat tersebut berisi kekecewaan para hakim atas tuduhan Mahathir terhadap lembaga peradilan, tetapi tidak meminta para Raja untuk mengambil tindakan tertentu.[16]

Pemecatan para hakim

Yang Di-Pertuan Aggong pada saat itu, Sultan Iskandar, pernah dituntut oleh Salleh (yang pada saat itu menjabat sebagai penuntut umum) dalam sebuah persidangan pidana pada tahun 1973 dan dihukum enam bulan penjara. Tidak diketahui apa respon Sultan Iskandar pada saat itu, tetapi ia diketahui memberitahukan Mahathir, dan keduanya bersepakat untuk mengambil tindakan atas Salleh.[17] Salleh, yang pada saat itu berada di luar negeri, dipanggil oleh Mahathir sepulangnya dari luar negeri. Mahathir menuduhnya berpihak dalam memutuskan kasus UMNO dan meminta ia mengundurkan diri atau dipecat dari posisi Presiden Mahkamah Agung. Meskipun Salleh pada awalnya bersetuju, ia menolak apabila ketika diberitahukan bahwa pengunduran dirinya berlaku retroaktif sehingga dapat membatalkan putusan sebelumnya, termasuk perkara UMNO.[18] Ia kemudian mengklaim bahwa pemerintah berusaha menyogoknya untuk berhenti dari posisi Presiden Mahkamah Agung.[19]

Salleh kemudian didakwa pada sebuah panel khusus kehakiman yang dipimpin Tun Hamid Omar, yang kelak menggantikannya sebagai Ketua Hakim Malaysia setelah jabatan Presiden Mahkamah Agung dihapuskan. Salleh mengajukan permohonan pada Mahkamah Tinggi di Kuala Lumpur untuk menyatakan panel khusus tersebut melanggar Konstitusi. Ia diwakili oleh Anthony Lester, QC, yang menyatakan bahwa panel khusus tersebut memiliki konflik kepentingan, terutama karena Hamid sendiri akan menjadi Presiden Mahkamah Agung jika Saleh disingkirkan. Lester meminta agar seluruh sidang panel tersebut dibuka untuk umum. Seluruh permohonan tersebut ditolak, dan Salleh memutuskan untuk tidak hadir dalam persidangannya lebih lanjut.[20]

Salleh kemudian meminta Mahkamah Agung untuk melanjutkan proses hukum atasnya karena panel khusus tersebut tidak sah secara hukum dan karena Yang di-Pertuan Agong telah dinasihat secara tidak benar oleh Perdana Menteri. Majelis hakim Mahkamah Agung, yang terdiri atas Tan Sri Azmi Kamaruddin, Tan Sri Eusoffe Abdoolcader, Tan Sri Wan Hamzah Mohamed Salleh, Tan Sri Wan Suleiman Pawanteh dan Datuk George Seah,[21] bersidang secara khsuus dan memberikan interlocutory order terhadap status panel khusus tersebut. Empat hari kemudian, atas nasihat Mahathir, Sultan Iskandar memecat lima orang hakim Mahkamah Agung yang menandatangani putusan tersebut karena alasan "kesalahan dalam berperilaku" dan "berkonspirasi dalam membuat putusan". Pemerintah mengangkat hakim-hakim baru, yang kemudian memutuskan bahwa Salleh bersalah dan memecatnya secara resmi dari jabatan Presiden. Bersama Salleh, Wan Sulaiman dan George Seah juga dipecat, sedangkan tiga lainnya dipulihkan. Perhimpunan Pengacara Malaysia menolak untuk mengakui Hamid Omar sebagai Presiden Mahkamah yang baru.[22][23]

Sumber

  1. ^ a b c Means, hlm. 237.
  2. ^ "The day of the dictator – Oct 27, 1987 | Malaysia Today". malaysia-today.net. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-10-29. Diakses tanggal 30 Juni 2020. 
  3. ^ Means, hlm. 204.
  4. ^ Means, hlm. 204-205.
  5. ^ Means, hlm. 206.
  6. ^ Means, hlm. 215-216.
  7. ^ Means, hlm. 216.
  8. ^ Means, hlm. 217-218.
  9. ^ Means, hlm. 218-219.
  10. ^ Means, hlm. 223.
  11. ^ Means, hlm. 224, 225, 226.
  12. ^ Means, hlm. 227.
  13. ^ Means, hlm. 228-230.
  14. ^ Means, hlm. 140, 236.
  15. ^ Means, hlm. 236-237.
  16. ^ Means, hlm. 238.
  17. ^ Salleh, hlm. 314.
  18. ^ Means, hlm. 239.
  19. ^ Aziz, Arfa'eza A (1 July 2002). They tried bribing me to leave judiciary quietly: Salleh Abas. Malaysiakini.
  20. ^ Means, hlm. 239-240.
  21. ^ "Salleh's case is closed" Diarsipkan 7 October 2007 di Wayback Machine., The Star. Accessed 30 Juni 2020.
  22. ^ Means, hlm. 240-242.
  23. ^ Samy, Florence A. (2 September 2009). "Former Lord President Abdul Hamid dies at age 80". The Star (Malaysia). Diakses tanggal 30 Juni 2020. 

Bibliografi

  • Means, Gordon P. (1991). Malaysian Politics: The Second Generation. Oxford: Oxford University Press. ISBN 0-19-588988-6.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Abas, Salleh (1989). May Day for Justice: The Lord President's Version. Magnus Books. ISBN 983-9631-00-4.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)