Teori hukum feminis

Teori hukum feminis, juga dikenal sebagai yurisprudensi feminis, adalah pandangan yang melihat bahwa hukum berperan dalam menekankan subordinasi wanita dan berupaya untuk mengamendemen posisi dan pendekatan hukum terhadap wanita dan gender.[1][2]

Sejarah

Istilah yurisprudensi feminis pertama kali didengungkan di akhir tahun 1970an oleh Ann Scales saat merencanakan Celebration 25, perayaan pada tahun 1978 menandai 25 tahun semenjak wanita lulus dari Harvard Law School untuk pertama kalinya, dan pertama kali dimuat pada isu pertama Harvard Women's Law Journal pada tahun yang sama.[2][3][4] Teori ini mengkritisi hukum di Amerika Serikat yang dinilai terlalu patriarkis dan menganggap posisi wanita dalam masyarakat sebagai lebih rendah berdasarkan asumsi gender yang berdampak pada putusan yang diambil oleh hakim.[5]

Pada tahun 1984, Martha Fineman mendirikan Feminism and Legal Theory Project di University of Wisconsin Law School untuk mengkaji hubungan antara teori dan praktik feminis dengan hukum. Proyek ini berperan penting dalam perkembangan teori hukum feminis.[6] Berkembangnya teori hukum feminis juga didasari atas keperluan wanita agar bisa mapan secara finansial. Wanita yang berkarier di bidang hukum juga memanfaatkan gagasan feminisme dan hukum tersebut dengan tujuan mencapai kebebasan reproduktif, menghentikan diskriminasi gender dalam hukum dan di tempat kerja, serta mengakhiri pelecehan seksual.[5]

Pemikiran dan teori feminis lahir dari suatu refleksi atas realitas ketidak adilan sosial yang dialami perempuan dalm dunia hukum. Para pemikir feminist legal theory percaya bahwa tatanan sosial dibentuk dan didefinisikan dari perspektif laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki. Demikian pula hukum diciptakan dan dibangun dari perspektif laki-laki sebagai instrumen untuk melanggengkan posisi subordinasi perempuan dihadapan laki-laki.

Perkembangan sejarah dan realitas sosial yang dihadapi perempuan telah melahirkan berbagai gerakan, pemikiran dan teori feminis, yang kemudian menjadi landasan bagi pemikiran feminis legal theory. Gadis Arifia dalam bukunya Filsafat Berperspektif feminis, memetakan pemikiran feminis dalam tiga gelombang besar yang masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu feminis gelombang pertama dimulai sejak 1800an, yang melahirkan pemikiran-pemikiran dan aliran-aliran feminis, seperti feminis liberal, feminis radikal, serta feminis marxis dan sosialis.nKemudian feminis gelombang kedua yang berkembang pada awal-awal tahun 1960an, yang berorientasi pada kegiatan yang sifatnya teoritis, seperti mempengaruhi pemikiran New Left (Kiri Baru) dan melahirkan paham feminis kulturan atau eksistensialis. Feminis gelombang ketiga merupakan paham feminis yang kemunculannya mengikuti atau bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran kontemporer, seperti feminis postmodernisme, poskolonial, multikultur dan global.[7]

Pendekatan

Model kesetaraan liberal

Model ini berkembang dari paradigma hukum liberal dan pada umumnya menganut nilai-nilai liberal dan pendekatan hukum berdasarkan hak meskipun masih mempertanyakan kerangka kerja liberal dalam praktiknya. Model ini menekankan agar wanita mendapat kesetaraan murni (tanpa memandang ras, orientasi seksual, dan gender), bukan kesetaraan nominal yang biasanya diberikan dalam kerangka kerja liberal tradisional, dan mengupayakan tercapainya kesetaraan tersebut melalui penerapan nilai-nilai liberal yang lebih menyeluruh bagi pengalaman yang didapatkan para wanita atau dengan merevisi kategori liberal untuk mempertimbangkan gender. Misalnya, di Amerika Serikat wanita kulit hitam hanya mendapat bantuan hukum apabila kasusnya terkait ras atau gendernya.[8]

Model perbedaan seksual

Model ini menekankan kuatnya diskriminasi gender dan melihat bahwa diskriminasi tersebut tidak boleh dikaburkan oleh hukum tetapi harus diperhatikan karena hanya dengan memperhatikan adanya diskriminasi gender barulah hukum dapat memberikan bantuan dan keadilan bagi wanita, yang berbeda dari apa yang dibutuhkan oleh pria. Model ini merupakan perlawanan terhadap model kesamaan yang memperlakukan wanita sama dengan pria.[9] Bagi feminis kesamaan, model ini dianggap tidak efektif dan cenderung menekankan perbedaan karakteristik yang dimiliki wanita.[5][9]

Model dominasi

Model ini menolak feminisme liberal dan melihat sistem hukum sebagai mekanisme untuk menekankan dominasi pria. Dapat dikatakan bahwa model ini berkaitan dengan pandangan teori hukum kritis yang juga melihat potensi hukum sebagai alat untuk mencapai dominasi. Teori ini tidak hanya melihat bagaimana pria mendominasi wanita tetapi juga bagaimana bantuan hukum sering tidak tersedia bagi kaum tertindas lainnya seperti kaum transgender.[10]

Model anti-esensialis

Feminis pascamodernis memandang bahwa setiap perspektif berdasarkan konteks sosial. Kritik anti-esensialisme dan interseksionalisme menolak gagasan bahwa dapat tercapai suatu suara wanita yang universal yang cenderung melihat ketidakadilan yang dihadapi oleh wanita berdasarkan pengalaman wanita kulit putih, kelas menengah, dan heteroseksual. Tujuan dari model ini adalah menghancurkan feminisme kulit putih dan feminisme gelombang pertama serta membangun masyarakat berdasarkan kesetaraan bagi semua tanpa memandang gender, ras, orientasi seksual, kelas sosio-ekonomi atau disabilitas.[11]

Yurisprudensi hedonik

Teori hukum feminis menggagas melalui yurisprudensi hedonik bahwa wanita mengalami pelecehan dan pemerkosaan sebagai akibat dari hukum yang memandang mereka lebih rendah dan dengan hak-hak yang lebih sedikit dibanding pria. Teoris hukum feminis melihat gagasan ini tidak hanya berdasarkan skenario mengawang tetapi berdasarkan peristiwa-peristiwa nyata.[5]

Aliran

Berikut ini beberapa aliran besar dalam feminis:[12]

Feminisme liberal

Feminisme liberal berpandangan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan otonomi setiap individu. Perempuan adalah makhluk rasional yang juga sama dengan laki-laki, karenanya harus diberi hak dan diperlakukan sama dengan laki-laki untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya, diantaranya memberikan akses yang sama atas pendidikan, dan pilihan-pilihan kesempatan untuk bekerja atau di rumah, serta hak politik yang sama dengan laki-laki.[12]

Meskipun terdapat perdebatan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, mustikah mereka diperlakukan sama ataukah berbeda, namun pada akhirnya, sebagian mereka percaya bahwa "Hukum yang spesifik gender adalah lebih baik daripada hukum yang netral gender dalam memastikan kesetaraan di antara dua jenis kelamin. Feminis liberal percaya bahwa untuk mencapai kesetaraan perlu perjuangan melalui pendekatan hukum dengan cara mereformasi sistem yang ada agar perempuan memiliki hak yang sama di bidang politik, pendidikan, dan kesempatan kerja.[12]

Feminisme radikal

Kalangan feminisme radikal mencurigai bahwa ketertindasan perempuan terjadi karena adanya pemisahan antara wilayah privat dan publik, dimana ranah privat dianggap sebagai lebih rendah dibanding ranah publik. Mereka meyakini bahwa sistem seks/gender adalah penyebab penindasan terhadap perempuan, dan dominasi yang terjadi atas seksualitas perempuan yang ditemui di ranah privat, merupakan awal dari penindasan tersebut.[12]

Karen Kate Millett dalam bukunya “Sexual Politics” berpendapat bahwa seks adalah politik, terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigm dari semua hubungan kekuasaan. Sementara kekuasaan tersebut lahir karena adanya kendali dan penguasaan laki-laki terhadap dunia publik dan privat, yang disebut sebagai patriarkhi. Sehingga, kebebasan perempuan hanya mungkin jika dominasi tersebut dapat dihapuskan, yaitu dengan menghapuskan perbedaan gender –terutama status, peran dan tempramen seksual sebagaimana hal itu dibangun dibawah patriarkhi. Karenanya kaum feminis radikal memiliki slogan untuk gerakan mereka bahwa “the personal is political” (yang pribadi adalah politis), yang artinya bahwa berbagai penindasan yang terjadi pada ranah pribadi (privat) merupakan juga penindasan yang terjadi di ranah publik.[12]

Feminisme marxis dan sosialis

Rosemarie Putnam Tong, menyatakan bahwa perbedaan feminism marxis dan sosialis lebih merupakan masalah penekanan daripada masalah substansi. Feminisme marxis melihat bahwa masalah ketertindasan perempuan terletak pada masalah kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan peran perempuan. Penindasan tersebut terjadi melalui produk politik, social dan struktur ekonomi yang berkaitan erat dengan sistem kapitalisme. Mereka percaya bahwa kekuatan ekonomi dan posisi ekonomi yang lebih baik bagi perempuan merupakan jawaban untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan. Sementara feminisme sosialis lebih menekankan penindasan gender dibandingkan penindasan kelas sebagai salah satu sebab penindasan perempuan. Feminisme sosialis setuju dengan Feminisme Marxis bahwa pembebasan perempuan bergantung pada penghapusan kapitalisme, namun mereka mengklaim bahwa kapitalisme tidak mungkin dihancurkan kecuali patriarkhi juga dihancurkan. Bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi karena ideologi patriarkhi. Bahkan sekalipun kapitalisme telah dihancurkan, perempuan akan tetap menjadi subordinat laki-laki, hingga perempuan dan laki-laki terbebaskan dari pemikiran patriakhi yang menempatkan perempuan kurang setara dari laki-laki.[12]

Feminisme kultural/eksistansialisme

Feminisme kultural memfokuskan diri pada pandangan mereka tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Dengan melihat perbedaan psycho antara keduanya, mereka berpandangan bahwa ketertindasan perempuan karena perempuan tersosialisasi dan terinternalisasi dalam dirinya bahwa mereka lebih inferior dibanding laki-laki. Karenanya perempuan perlu mengkonstruksi konsep dirinya dan mendefinisikan sendiri apa itu perempuan. Perempuan dengan pengalaman hidup akan kebutuhannya sebagai perempuan memiliki sesuatu yang istimewa dalam dirinya. Kemampuan perempuan untuk peduli membawa dampak luar biasa pada identifikasi sebagai perempuan, dan juga berdampak positif pada cara pandang perempuan terhadap dunia. Apa yang dimiliki perempuan tersebut adalah dasar dari visi pembebasan.[12]

Feminisme postmodern

Feminisme postmodern memandang bahwa ketertindasan perempuan terjadi karena mengalami alienasi yang disebabkan oleh cara berada, berfikir dan bahasa perempuan yang tidak memungkinkan terjadinya keterbukaan, pluralisme, diversifikasi dan perbedaan. Alienasi tersebut terjadi secara seksual, psikologis dan sastra dengan bertumpu pada bahasa sebagai sistem. Dengan kata lain perempuan dilihat sebagai "yang lain", yang memiliki perbedaan cara berada, berpikir dan "berbahasa" yang berbeda dari laki-laki. Sedangkan, selama ini aturan-aturan simbolis yang berlaku sarat sarat dengan "aturan laki-laki" yang sangat maskulin. Hal ini yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan terus terjadi secara berulang.[12]

Feminisme multikultural dan global/post kolonial

Feminisme multikultural dan global memiliki kesamaan dalam cara pandangnya mengenai perempuan yang dilihat sebagai Diri yang ter fragmentasi (terpecah). Fragmentasi ini lebih bersifat budaya, rasial, dan etnik daripada seksual, psikologis, dan sastrawi. Keduanya menentang "esensialisme perempuan" yang memandang "perempuan" secara platonic, yang seolah setiap perempuan, dengan darah dan daging dapat sesuai dalam satu kategori. Adapun perbedaan keduanya, feminisme multikultural didasarkan atas pandangan bahwa dalam satu negara, semua perempuan tidak diciptakan atau dikonstruksikan secara setara. Bergantung pada ras dan kelas, dan juga kecenderungan seksual, usia, agama, pencapaian pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, kondisi kesehatan, dan sebagainya, dimana setiap perempuan akan mengalami opresi sebagai seorang perempuan secara berbeda pula.[12]

Ekofeminisme

Ekofeminisme yakin bahwa manusia adalah saling berhubungan satu sama lain dan berhubungan juga dengan dunia bukan manusia, atau alam. Ekofeminisme berpendapat bahwa ada hubungan konseptual, simbolik, dan linguistic antara feminis dan isu ekologi. Asumsi dasar dunia dibentuk oleh bingkai pikir konseptual patriarkhal yang opresif, yang bertujuan menjelaskan, membenarkan, dan menjaga hubungan dominatif, khususnya dominasi laki-laki atas perempuan. Cara berfikir patriarkhis yang hirarkhism dualistic, dan opresif telah merusak perempuan dan alam. Hal ini karena perempuan "dinaturalisasi", ketika digambarkan melalui acuan terhadap binatang, misal, sapi, serigala, ayam, ular, anjing betina, otak burung, otak kuda, dan lain-lain.[12]

Pengkajian kritis hukum

Pengkajian kritis hukum yang terkait dengan feminis, terdapat lima hal yang perlu diperhatikan, meliputi:[13]

  • Pengalaman perempuan, pengalaman perempuan ini penting sebagai dasar pertimbangan bagi penalaran hukum baru.
  • Gender bias is implicit, hal ini terlihat melalui berbagai perundangan yang terkesan netral dan objektif, namun ternyata tidak demikian.
  • Ikatan ganda dan dilema dari perbedaan, yaitu tidak tersedianya pilihan bagi perempuan sehingga kemudian mau tidak mau harus mengambil pilihan yang sesungguhnya merugikan dan tidak adil baginya, contoh: perempuan korban KDRT, perempuan dalam dilema antara karier dan pekerjaan rumah tangga.
  • Reproduksi model dominasi laki-laki, pembentuk undang-undang atau kebijakan sering kali mereproduksi peraturan yang seolah-olah berpihak pada perempuan, namun sesungguhnya tidak lebih baik dan tidak sungguh-sungguh dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi perempuan. Misalnya, perda tentang larangan perempuan keluar malam, alasannya untuk melindungi, tapi sesungguhnya lebih untuk mengontrol dan membatasi.
  • Membuka pilihan-pilihan bagi perempuan, hukum beranggapan bahwa pilihan yang dimiliki (dipilih oleh) perempuan berasal dari kenyataan biologisnya, khususnya kodrat alamiahnya yang akhirnya memotivasi perempuan untuk menjalankan kegiatan secara tradisional sehingga hukum menganggap perempuan bertanggungjawab atas hal tersebut. Pilihan yang dipilih perempuan tersebut sering kali dipengaruhi oleh kesempatan yang tersedia untuknya dan kultur dominan yang ada di antara mereka. Perempuan yang memilih mengembangkan karir dan meninggalkan pekerjaan domestik, dianggap sebagai meninggalkan kodratnya.

Referensi

  1. ^ Fineman, Martha A. "Feminist Legal Theory" (PDF). Journal of Gender, Social Policy and the Law. 13 (1): 13–32. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 25 April 2015. 
  2. ^ a b Scales, Ann (2006). Legal Feminism: Activism, Lawyering, and legal Theory. New York: University Press. 
  3. ^ Cain, Patricia A. (September 2013). "Feminist Jurisprudence: Grounding the Theories". Berkley Journal of Gender, Law & Justice. 4: 193. 
  4. ^ Feminist Jurisprudence. Connection.ebscohost.com (1991-11-18). Retrieved on 2015-05-17.
  5. ^ a b c d Sagers, Christopher L.; Minda, Gary (1997). "Postmodern Legal Movements: Law and Jurisprudence at Century's End". Michigan Law Review. 95 (6): 1927. doi:10.2307/1290030. ISSN 0026-2234. 
  6. ^ "Feminism and Legal Theory Project | Emory University School of Law | Atlanta, GA". Emory University School of Law (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-07. 
  7. ^ Saeroni (2014-12-13). "Feminist Legal Theory: Sebuah Tinjauan Singkat". Aliansi Laki-laki Baru. Diakses tanggal 2023-03-18. 
  8. ^ Crenshaw, Kimberle (1989). "Demarginalizing the Intersection of Race and Sex: A Black Feminist Critique of Antidiscrimination Doctrine, Feminist Theory and Antiracist Politics". University of Chicago Legal Forum. 1989: 149. 
  9. ^ a b Law, , Berkeley Journal of Gender (2013). "Difference, Dominance, Differences: Feminist Theory, Equality, and the Law". Berkeley Journal of Gender, Law & Justice (dalam bahasa Inggris). 5 (1). doi:10.15779/Z388C4M. ISSN 1933-1045. 
  10. ^ Spade, Dean (November 2010). "Be Professional". Harvard Journal of Law & Gender: 5. 
  11. ^ Warner, J Cali. Proposal: the alignment of oppressed groups as post-Modern development. 2016.
  12. ^ a b c d e f g h i j Saeroni (2014-12-13). "Feminist Legal Theory: Sebuah Tinjauan Singkat". Aliansi Laki-laki Baru. Diakses tanggal 2023-03-18. 
  13. ^ Saeroni (2014-12-13). "Feminist Legal Theory: Sebuah Tinjauan Singkat". Aliansi Laki-laki Baru. Diakses tanggal 2023-03-18.